Sariagri - Dua orang staf pengajar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Syiah Kuala (USK) selama pandemi Covid-19 memanfaatkan waktu kosong untuk membudidaya jamur merang di Desa Beurabong, Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar.
Kesibukan baru ini ditekuni dua dosen ini setelah Indonesia, khususnya Aceh dilanda pagebluk Covid-19 akhir 2019 lalu. Kemudian aktivitas belajar-mengajar dihentikan secara tatap muka dan berubah secara daring.
Biasanya kedua dosen ini, Ilham Maulana dan Fadli biasa disibukkan mengajar di Fakultas MIPA USK. Selama pagebluk lebih banyak menghabiskan waktunya untuk budidaya jamur merang, dengan mempergunakan lahan kosong yang tersedia di desa tersebut.
Budidaya jamur merang ini tidak menggunakan fasiltas modern. Tetapi menggunakan tandan sawit sebagai media tanam yang dinilai cukup hemat dan sehat karena tanpa bahan kimia.
Sebelum bibit jamur merang ditabur di tandang sawit. Tandang sawit itu direndam air terlebih dahulu sebagai proses permentasi selama 10 hingga 15 hari lalu ditaburkan dedak sagu. Setelah itu bibit jamur merang ditaburi di tandang sawit itu.
Ilham Maulana mengaku, tercetus niat membudidaya jamur merang setelah dirinya dirumahkan karena pagebluk Covid-19. Karena banyak waktu kosong di rumah, ia bersama rekannya seprofesi mencoba untuk membudidaya jamur merang sekitar akhir 2019 lalu.
Semakin kuat tekadnya membudidaya jamur merang, karena saat itu bertemu dengan ahlinya. Selain itu juga menyalurkan hobinya bertani. Lalu ia coba tekuni budidaya jamur merang, niat awalnya hanya untuk konsumsi sendiri.
“Mulai 2019, kita dirumahkan, gak masuk kantor, punya banyak waktu untuk melakukan sesuatu yang baru, saya memilih menanam jamur, kebetulan bertemu dengan ahlinya, awalnya untuk hobi aja, untuk makan sendiri, ternyata banyak hasilnya,” kata Ilham Maulana, Senin (16/8).
Empat Kali Gagal Panen
Budidaya jamur merang bagi Ilham Maulana memiliki tantangan sendiri. Karena jamur merang ini sangat sensitif dan harus selalu dijaga kondisi kelembabannya dan diberikan penguapan yang cukup.
“Kesulitannya jamur merang ini cengeng dia, sensitif,” kata Ilham Maulana.
Budidaya jamur merang yang ditekuninya tidak berjalan mulus. Ia pernah mengalami gagal panen tidak tanggung-tanggung, yaitu selama 4 kali. Padahal untuk budidaya jamur merang ini membutuhkan modal yang lumanyan besar, kisaran antara Rp 40 juta modal awalnya.
“Kami saja sempat mengalami empat kali gagal total berturut-turut, gagal panen,” ungkapnya"
Kendati mengalami gagal panen, Ilham bersama rekannya tetap tak putus arang. Ia tetap terus mencoba dan memperbaiki kesalahan yang pernah dibuat. Setelah beberapa kali gagal, berkat ketekunannya berhasil memanen jamur merang hingga sekarang mencapai 100 kilogram hingga 150 kilogram setiap bulannya.
“Sedikit aja permasalah bisa gagal, bisa lembek, ringan, kriting, bibit kotor sedikit saja, kalau terkontaminasi dengan yang lain, nanti yang lain keluar, bisa keluar jamur yang gak bisa kita makan,” jelasnya.
Butuh Pemasaran Pasca Panen
Setelah panen jamur merang harus segera dipasarkan, karena tidak dapat disimpan lama. Bila sudah berselang hari, jamur tersebut tidak segar lagi dan bahkan bisa membusuk. Sehingga setiap panen Ilham harus berpikir segera dipasarkan dan harus habis.
Kondisi ini juga menjadi tantangan lain paska panen. Terlebih saat ini di Banda Aceh belum ada pengolahan paska panen. Sehingga bila panen puncak, pihaknya juga sempat kelimpungan untuk memasarkannya segera.
Jamur merang ini dipasarkan sekarang di Banda Aceh seharga Rp60 ribu per kilogramnya. Pemasaran jamur merang milik Ilham masih dipasarkan kalangan rumah tangga dan kolega terdekat, karena produksinya masih terbatas. Baik menggunakan media sosial maupun melalui pesan singkat dari WhatsApps.
“Harus dipasarkan segera, karena kondisinya cepat sekali membusuk, sore itu sudah kurang nyaman dikonsumsi, sudah mengering, mengembang,” jelasnya.
Ilham menjelaskan, bila hendak budidaya jamur merang dalam jumlah besar. Maka yang harus dipikirkan terlebih dahulu adalah pemasaran paska panen. Bila tidak ada yang menampung untuk dijadikan produk paska panen, dipastikan bila diproduksi banyak pembudidaya akan merugi, karena jamur tersebut tidak bisa disimpan lama.
“Sistem pemasaran harus diperbaiki, produk paska panen juga, intinya setiap ada panen puncak yang besar langsung bisa ditampung oleh produk paska panen bisa memperlama masa simpan,” ungkapnya.
Kata Ilham, meskipun jamur merang itu sudah dipanen atau dipetik. Tetapi kondisinya jamur itu masih hidup. Makanya solusi agar jamur itu tidak membusuk adalah dengan ada pengolahan paska panen, paling tidak harus segera dimatikan sel hidup jamur tersebut agar tidak berkembang.
“Kondisi paling disemi masakkan, dibunuh dulu dia, sebenarnya walau sudah dipetik dia masih hidup, dimasak dulu dia, pada itulah dia berhenti berkembang,” jelasnya.
Ilham mengaku saat ini mulai berpikir untuk mengembangkan menjadi produk paska panen. Yaitu produk turunannya seperti penyedap makanan berbentuk kaldu jamur tanpa bahan pengawet maupun menjadi masker kecantikan yang alami.
Saat ini kedua dosen Fakultas MIPA USK ini juga sedang melakukan pembinaan kepada masyarakat sekitar cara budidaya jamur merang yang benar dan baik. Sehingga masyarakat sekitar dapat terbantukan secara ekonomi di tengah terdampaknya pagebluk Covid-19 di nusantara ini.